Sampai pertengahan 1950-an, diketahui AURI sudah.mempunyai
30 MiG-15 UTI yang tiba di Lanud Kemayoran dan Chekoslovakia sejak 14
Agutus 1958. Setahun kemudian disusul kedatangan 49 MiG-17 juga dan
Chekoslovakia. Ketika ketegangan dengan Belanda semakin memuncak pada
awal 1960, Pemerintah merasa masih perlu untuk menambah kekuatan udara
agar mampu menggetarkan nyali lawan. Maka datanglah 10 MiG-19 dan makin
lengkap dengan tibanya 24 MiG-21 pada tahun 1962.
Untuk menyambut kedatangan pesawat-pesawat baru dari Blok Timur ini,
maka berdasarkan surat Keputusan Men/Pangau tahun 1962 yang berisi
tentang pembentukan Skadron 12 sebagai pangkalan bagi MiG-19 di
Kemayoran, Skadron 14 home base pesawat MiG-21F, dan Skadron 41/42
dengan pesawat Tu-16 di Madiun.
Sebagai persiapan, AURI mengirimkan penerbangnya ke Rusia untuk
belajar menerbangkan pesawat MiG-21 pada tahun 1961. Para penerbang
yang terpliih adalah Kapten Sukardi, Letnan Udara I Jahman, Letnan Udara
I Sobirin Misbach, dan Letnan Udara I Saputro. Sebenarnya Sobirin
Misbach dan Saputro tidak diberangkatkan ke Rusia. Namun mereka hams
menggantikan dua penerbang lainnya yang terpaksa grounded setibanya
di Uni Soviet. Letnan Udara II Mundung hams pulang karena sakit, sedang
Letnan Udara II Suganda terpaksa pulang karena memiliki ukuran tubuh
terlalu kecil. Suganda telah mencoba berbagai macam pressure suit, bahkan
sampai ukuran terkecil, tetap saja tidak muat. Selama em-pat bulan,
para penerbang belajar menerbangkan pesawat di Lanud Lugowaya yang
berada di sebuah kota kecil di perbatasan dengan India.
Selain mengirim ke luar, AURI juga mendatangkan instruktur dari
Soviet. Penerbang yang dididik di dalam negeri adalah Mayor Roesman
sebagai calon komandan skadron MiG-21. Program latihan dilaksanakan
hampir bersamaan dengan kadet yang di Lugowaya. Setelah menyelesaikan
latihan terbang, mereka mengajarkan ilmu yang sama kepada penerbang di
skadron. Penerbang MiG-21 diambil dari penerbang MiG-17 Skadron 11 dan
MiG-19 Skadron 12.
Ada cerita unik soal MiG-17. Semula skadron berkekuatan 49 MiG-17 dan
30 MiG-15UTI ini berpangkalan di Kemayoran sebelum dipindah ke Madiun.
Secara resmi kepindahan ini dikarenakan padatnya traffic di
Kemayoran. Karena selain penerbangan sipil, di Kemayoran juga
ditempatkan 10 MiG-19 asal Skadron 12 dan Skadron 21 dengan 22 11-28 Beagle. Namun
sejumlah orang percaya bahwa kepindahan ini gara-gara penembakan Istana
Merdeka oleh Letnan Daniel Maukar menggunakan MiG-17 F-1112 pada 9
Maret 1960. Setelah kejadian itu Skadron 11 tiba-tiba mendapat perintah
untuk keluar dari Ibukota.
Proses pindahnya pun rada unik. Perintah keluar Ibukota itu didahului
dengan rencana terbang navigasi keliling Indonesia. Pada saat mereka
tiba di Bali dan bersiap kembali ke Kemayoran, Mabes AURI tiba-tiba
mengeluarkan instruksi tentang home base baru mereka
di Iswahjudi. Sehingga dari Bali MiG-17 langsung diterbangkan ke
Iswahjudi, sedangkan personel dan peralatan menyusul kemudian. Sebuah
kepindahan yang mendadak.
Kehadiran MiG-21F memperkuat AURI memang sebuah lompatan sangat
jauh. Terbang perdana dilaksanakan pada Juli 1962 di Kemayoran. Mayor
Roes-man sebagai komandan skadron pertama, dipercaya melaksanakan
penerbangan ini. Disaksikan oleh Suryadarma dan pejabat lainnya, MiG-21
membuktikan kehebatannya ketika diterbangkan untuk pertama kali di
Indonesia.
MiG-21 sejatinya memang dirancang untuk menyergap bomber dan pesawat
tempur supersonik lainnya. Sehingga setelah tiba di Indonesia pada 1962,
pesawat-pesawat ini menjadi pesawat interceptor AURI. Tak
pelak kedatangan jet yang mampu mencapai kecepatan Mach 2 membuat pihak
Barat gusar. Dengan mesin Tumanski berkekuatan 11.240 lbs dan berat
total 16.500 lbs, MiG-21 merupakan pesawat dengan thrust to weight ratio paling
baik saat itu yaitu 5:1. Kehebatan mesin ini dibanding pesawat AS saat
itu adalah tidak adanya jejak asal yang keluar dari mesin.
Awalnya MiG-21 ditempatkan di Skadron 14. Menyusul sejumlah kejadian
teknis yang menimpa MiG-19 dari Skadron 12, maka sebagian MiG-21
ditempatkan di Skadron 12, Kemayoran. MiG-18 grounded dan
akhirnya dijual ke Pakistan pada tahun 1965. Pengiriman dari Lanud
Kemayoran dilaksanakan melewati pelabuhan Tanjung Priok pada bulan
Oktober, sesaat setelah pemberontakan PKI meletus.
Selain dikenal bandel, MiG-21 juga tidak mengenal FOB (foreign object damage), yaitu
bendabenda asing yang bisa merusak system pesawat. MiG-21 bisa
mendarat di landasan yang buruk seperti di Morotai yang berlumut. MiG-21
juga terkenal kasar. Suatu saat pernah pintu roda pendarat rusak. Kru
darat berusaha melepas dan menggantinya dengan pintu roda pesawat lain.
Ternyata ukurannya tidak sama.
Kekurangan MiG-21 adalah pada daya jelajah dan system avionic. Day
jelajahnya tidak terlalu iauh disebabkan kapasitas tangki bahan bakar
internal hanya 1.470 liter dan tangki eksternal 490 liter, hanya bisa
digunakan untuk ter-bang selama 1 jani 45 menit. Sistern avionik juga
lemah. Di kokpit hanya terdapat peralatan semacam automatic direction finder (ADF). Sebagai pesawat interceptor, kecepatan
yang dimiliki memang “Joleh diandalkan, namun tanpa radar yang memadai
maka penerNing harus menemukan sasaran di udara dengan mata telanjang
ietelah dipandu radar darat. Radar yang di pesawat hanya terbatas .mtuk
melepas roket K-13 A.
Penerbang yang sempat men-Omni Skadron 14 pada saat itu antara lain
Roesman, Saputro, Tri Suharto, Subardi, Yos Bakarbesi, Jahman, Martin,
Tetelepta, Sukardi, Firman, Siahaan, Beni Joseph, Eli Sumarmo, M
Syafii, Wofkar Usmani, dan Sobirin Misbach.
Pada saat konflik di Irian Barat tengah menghangat, sempat sebuah U-2 Dragon Lady terbang
di atas Madiun. Pesawat ini diterbangkan dari Filipina ke Darwin untuk
misi pengintaian. Dari ketinggian 70.000 kaki, U-2 berhasil
mengidentifikasi deretan jet tempur dan pembom di Iswahyudi. Saat
itulah kru U-2 melihat sendiri bahwa Indonesia sudah diperkuat pemburu
MiG-21 dan pembom Tu-16. Data pengintaian inilah yang kemudian menjadi
dasar pertimbangan Belanda dan tentu atas desakan AS, untuk menghentikan
pertikaian dengan Indonesia.
Seperti Tu-16, nasib MiG family juga mengenaskan. Kepedihan
itu paling dirasakan oleh penerbang angkatan Ciptoning III yang baru
kembali dari Ceko. Setelah tiga tahun tiga bulan mengikuti sekolah
terbang di Ceko dan pulang ke tanah air, ternyata mereka mendapati
kondiri AURI sudah berubah drastis. Saat mereka kembali Agustus 1968,
MiG-21 sudah dalam kondisi kritis. Bahkan setahun sebelumnya telah diadakanfarewellflight untuk
menandai beralchirnya masa pakai pesawat ini. Terbang perpisahan itu
berlangsung malam hari selama satu bulan penuh di Halim Perdanakusuma.
Setrlah itu hanya beberapa pesawat saja yang diizinkaan terbang. MiG-21
melakukan penerbangan terakhir pada tahun 1970, saat diadakanfly past di Jakarta. Pada tahun itu seluruh pesawat jenis MiG dinyatakan grounded oleh Mabes AURI.
Padahal MiG-21 dan MiG19 relatif masih baru, namun mempunyai akhir
pengabdian yang memilukan. MiG-19 dijual ke Pakistan, bahkan beberapa
penerbang dan teknisi juga dikirim ke Pakistan dala Operasi Pakis untuk
membantu Pakistan yang terlibat konflik dengan India. Bantuan MiG-19
ini ditukar dengan empat unit pesawat Lock- heed Constelation yang ternyata performanya buruk. Pesawat ini hanya dipakai beberapa tahun saja sebelum akhirnya di-grounded. Dalam kerjasama itu, Pakistan sempat mengajukan permintaan untuk memperoleh rudal Kennel AS-1 bawaan Tu-16. Namun permintaan ini ditolak oleh KSAU Omar Dhani.
Sementara MiG-21 yang terpaksa harus diangkut ke Amerika sebagai
bagian dari barter dengan T-33, sempat terlihat diangkut pesawat C-141 Starlifter pada awal 1970
Tidak ada komentar:
Posting Komentar